Pages

MENGINTIP KEPRCAYAAN BANGSA ASLI ASIA PURBA

Bila kita mengintip sejarah kepercayaan yang ada pada penduduk Asia Tenggara, maka kita akan menemukan kesamaan dengan kepercayaan yang ada pada penduduk asli Asia Timur. Bahkan bila dihubungkan dengan kepercayaan penduduk Polinesia, Mikronesia dan Amerika latin terdapat beberapa kesamaan pula. Bila ditarik benang merahnya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata pada masa dahulu mereka memeluk satu ajaran yang sama. Hal itu dapat terlihat dari dongeng-dongeng serta penamaan dewa-dewa yang mereka percayai.

A.D. Elmarzedeq menyebutkan dalam bukunya Parasit Aqidah, bahwa di Korea terdapat kepercayaan terhadap harimau jadi-jadian, lalu di Jawa dan Sumatra pun terdapat pula kepercayaan pada harimau jadi-jadian itu. Di Jawa dan Sumatra terdapat dongeng putri tujuh turun mandi pada sebuah danau, lalu pakaian putri bungsu itu dicuri oleh seorang pemuda, putri bungsu kawin dengan pemuda itu tetapi akhirnya putri bungsu kembali ke kayangan, setelah baju terbangnya ditemukan kembali. Dongeng ini tersebar di seluruh Asia tenggara dan titik persamaannya terdapat pula di Asia Timur.

Maka diperkiraan pada 5000 sM, ajaran penyembah pada Tu dan Yang berpangkal di Asia Tengah yang mungkin dianut beberapa suku Mongolid purba (nenek moyang orang Cina, Tibet dan Jepang) dan kemungkinan pada lebih kurang 3500 sM telah dianut beberapa suku nenek moyang proto Melayu yang masih menduduki beberapa daerah di Cina Selatan. Lalu terdesak suku Tsin (bukan bangsa Tsin) dan nenek moyang suku Haka, sampailah suku-suku proto Melayu itu ke lembah Menam, Mekong dan Irwadi. Maka terjadilah percampuran di Asia Tenggara antara suku-suku proto Melayu dan suku Cina purba itu. Di antara keturunan suku campuran itu ialah bangsa Anam dan Siam (Thai).

Pada 2000 sM ada sebagian suku-suku proto Melayu itu tersebar kearah Selatan memasuki kepulauan Indonesia dan Pilipina. Ada pula sebagian masuk ke India dan diantara keturunannya adalah suku Munda; mereka masuk ke India melalui Assam. Ada pula sebagian suku-suku proto Melayu itu menempuh pesisir Cina dan sebagian dari mereka bermukim di Korea lalu bercampur darah. Sebagian pula dari korea itu turun ke jepang dan bertemu dengan arakan rombongan dari selatan. Dari kepulauan Indonesia sebagian suku-suku itu berlayar ke Selandia Baru dan sekitarnya, Polinesia dan Mikronesia. Bahkan ada dugaan bahwa penduduk Asli Amerika Latin adalah keturunan dari mereka yang berada di Polinesia, karena mungkin disebabkan pengaruh arus laut mereka tersebar kearah barat. Maka penyelidikan dalam hal akar kata, akar kepercayaan, hiasan kepala, lukisan perisai, baju kutung, perahu cadik dsb. menunjukan titik persamaan.

Maka bila melihat arus penyebaran penduduk di atas, akan sangat mungkin terdapat persamaan-persamaan, baik dari segi dongeng atau pun kepercayaan yang dianut. Bangsa-bangsa asli yang disebutkan tadi mempunya ajaran ketuhanan yang sama, mereka menyembah Tu. Menurut mereka penguasa sekalian alam itu dinamakan Tu yang bersifat esa, tidak berawal dan tidak berakhir. Maha besarlah jika dibandingkan dengan alam terbesar dan maha kecillah jika dibandingkan alam yang terkecil. Tetapi dzat Tu itu memenuhi sekalian alam. Bila alam itu binasa, maka dzat Tu itu kembali pada semula.

Menurut ajaran Mon dan Khmer, Tu atau Tuh itu ada dan menyeluruh, ia jauh tetapi dekat, ia bersatu tetapi berpisah. Menurut ajaran Melayu Purba, Tu dinamakan pula Tuh (jika diberi imbuhan “–an” menjadi Tuhan). Tuh itu dinamakan pula Sangyang Tunggal yang hidup bersekutu dalam alam tetapi ia sendiri bukan alam. Dalam ajaran Kaharingan, Tuh atau Toh itu ruh alam, penguasa terbenam dan terbitnya matahari. Dan masih banyak lagi ajaran tentang ketuhanan yang dianut bangsa-bangsa asli yang disebutkan tadi. Namun semuanya mengarah pada satu kepercayaan yang sama yaitu Tu, walaupun terdapat penyebutan yang berbeda kepada Tu tersebut, ada yang menyebut Tao, Thian, Toh, Thi, Tou, To, Teuh dsb. Ajaran Pantheisme ini masih berbekas di berbagi wilayah, di Jawa terdapat dalam ajaran kejawen, dan dalam agama-agama lokal suku terpencil di Birma, tahiland, Yakun (Malaysia), Sulawesi, Kalimantan. (A. D. Elmarzedeq, “Parasit Aqidah”).

Dalam kepercayaan terhadap Tu atau Tuh, mereka pun mempercayai dewa-dewa tetapi derjatnya berada di bawah Tu atau Tuh. Mereka biasa menyebutnya Yang atau Shan, Hiyang, Iyang, Yeng dan semacamnya. Di jepang diberi gelar juga “Kami”. Bagi mereka dewa yang tertinggi adalah dewa langit dan dewa Bumi. Di Cina dewa langit ialah Yang, bertugas sebegai pemberi, ada di atas dan bersifat jantan. Sedangkan dewa bumi disebut Yin atau Ying, bertugas sebagai penerima, ada di bawah dan bersifat betina. Pada kepercayaan asli Siam, dewa langit disebut Po Yang dan Mo Yang. Pada suku Munda, Yhaam dan Yheem. Dalam kepercayaan Melayu kuno disebut Poyang dan Moyang atau Ame dan Ine.

Bila melihat dongeng-dongeng yang ada pada bangsa asli tadi, akan ditemukan keterkaitan dengan kepercayaan terhadap Tu atau Tuh dan dewa-dewa yang mereka anut. Dalam kepercayaan mereka, konon beranaklah pasangan Yang-Yin (dewa langit-dewa bumi) itu, tujuh orang putra dan tujuh orang putri. Karena putri sulung panas hatinya pada Yang putra, maka ia turun mandi bersama saudaranya pada sebuah danau yang sepi di bumi, bertanggakan jenjang pelangi. Maka ada ungkapan orang tua jaman dulu ketika melihat pelangi setelah hujan, “Ada putri yang sedang mandi”.

Pada suatu ketika Yang putra sulung naik berahinya pada ibu kandungnya sendiri sehingga ia diusir ke bumi. Ia menjadi calon penguasa di bumi dan belum mempunyai pasangan. Pada malam purnama ia pesiar ke tepi danau dan dilihatnya putri-putri tengah mandi, lalu dicurinyalah salah selembar baju-terbang putri itu yang ternyata kepunyaan putri bungsu. Ketika putri-putri lain terbang kembali ke kayangan, putri bungsupun menangis karena kehilangan baju terbangnya itu. Akhirnya putra sulung mengawininya hingga beranak cucu sebagai raja-raja bumi. Karena itulah raja dianggap sebagai putra langit. Kemudian cerita putri mandi ini tersebar diberbagai wilayah, seperti Jaka Tarub di Jawa, Ogo Amas di Sulawesi, Poyaka di Pilipina, Putri Tujuh di Sumatera, Ha Goromo di Jepang.

Dari dongeng tersebut lahirlah upacara pemujaan dan sajian. Peribadatan kepada Tu secara langsung, semula khas untuk raja. Raja adalah anak langit, ia sederajat dengan Yang, raja melakukan sembahtu dan rakyat melakukan sembahyang, menyembah dan taat kepada raja, sama dengan taat kepada Yang. Maka diantara umat Islam Indonesia, ada yang menyebut shalat itu dengan sembahyang. Padahal kata sembahyang dan shalat itu jelas berbeda maknanya, karena yang disembahnya pun berbeda, sembahyang menyembah Yang, sedangkan shalat bentuk penyembahan terhadap Allah.

Konon pada zaman dahulu, untuk keperluan sembahtu, seorang gadis pilihan dikorbankan dengan cara disuruh menari telanjang kemudian membunuh dirinya sendiri dan mayatnya di lemparkan kepada perigi. Dan disajikan pula sesajian dalam piring-piring emas.
Ada beberapa sembahyang yang dilakukan dalam menyembah dewa Yang tersebut. Seperti, sembahyang perkawinan, sembahyang menjelang gadis, sembahyang perkawinan, sembahyang hamil tiga bulan dan tujuh bulan, sembahyang bersalin, upacara kematian dsb. Di Indonesia kita mengenal upacara tujuh bulanan, dan bila melihat akar kepercayaan itu terdapat dalam penyembahan terhadap Tu dan Yang. Dalam sembahyang hamil tiga bulan, disajikan macam buah-buahan. Perempuan hamil itu lepas sembahyang, dimandikan tiga kali, berganti pakaian tiga kali, menyulut hio tiga batang.

Pada sembahyang hamil tujuh bulan, disajikan tujuh macam sajian. Perempuan hamil itu lepas sembahyang, dimandikan tujuh kali, melepas ikan belut ke dalam kain sekali agar persalinan menjadi lancar. Bersembahyang kembali dengan menyulut tujuh batang hio, berdagang makanan tujuh macam pada anak-anak dan dibayar dengan uang-uangan. Sejak upacara hamil tujuh bulanan itu, perempuan hamil selalu membawa pisau kecil agar tidak diganggu hiyang jahat.

Di atas hanyalah sebagian kecil persamaan kepercayaan yang tersebar diberbagai wilayah asia. Kemudian terjadi asimilasi, akulturasi dan sinkretisme terhadap agama dan budaya setempat. Percampuran ini terjadi dikarenakan ada yang sengaja dicampurkan, bercampur karena desakan, bercampur karena pergaulan dan bercampur karena hidup berdampingan. Maka bila kita amati dapat dilihat pengaruh kepercayaan tersebut dalam agama Hindu, Budha dan Islam di Asia.

Contohnya upacara kematian dalam agama Yang, mereka melakukan ritual dalam melepas kepergian arwah, mulai dari sehari kematian, tiga hari kematian, tujuh hari kematian, sembilan hari kematian, lima belas hari kematian, empat puluh hari kematian, seratus hari kematian, setahun kematian dan tiga tahun kematian. Pengaruh upacara kematian itu bercampur dan masuk dalam agama budha, hindu dan islam di Asia Tenggara. Bila dalam agama hindu atau budha, seribu hari kematian dibaurkan dalam upacara Syardha, pelepasan ruh dari ikatan dunia. Setelah Islam masuk ke Asia tenggara dan sekitarnya, upacara kematian dan pesta arwah pun tetap dilakukan, tetapi disadur diwarnai dengan warna Islam. Isi bacaannya diganti dengan tahlil, solawat dan surat-surat pendek dari Al-Quran, pahala bacaannya itu dihadiahkan kepada arwah. Acara ditutup dengan makan-minum dan sebagian dibekalkan untuk pak Lebai.

(Penulis Adalah Deli Luthfi Rahman Mahasiswa UIN Sunanan Gunung Djati Bandung
Jurusan Jurnalistik "A" 2008)

Rabu, 26 Mei 2010 di 12.19

0 Comments to "MENGINTIP KEPRCAYAAN BANGSA ASLI ASIA PURBA"

Posting Komentar